Kamis, 19 Februari 2015

MENDONGENG UNTUK ANAK USIA DINI BAGAIMANA CARANYA

Pernahkah anda membaca atau mendengar sebuah ungkapan ” Seorang Guru yang tidak bisa bercerita, ibarat orang yang hidup tanpa kepala”. Bercerita bagi guru adalah salah satu kemampuan yang wajib dimiliki atau di kuasai.

Bercerita bagi guru adalah sebuah cara atau metode yang efektif untuk menyampaikan pesan atau menularkan sebuah pengetahuan bagi anak-anak atau murid dan akan diterimanya dengan senang hati.

Dibutuhkan banyak cerita-cerita yang khusus ditunjukan untuk anak usia dini yang ditulis dari para praktisi pendidikan tersebut atau para penulis cerita yang kompeten di bidangnya agar cerita yang disampaikan mengena pada sasaran bahkan seharusnya cerita yang dibuat secara khusus didasarkan pada material kurikulum pengajaran pada pendidikan AUD yang berlaku, karena pada kenyataanya jarang sekali ditemukan panduan-panduan praktis tersebut padahal pedoman-pedoman tersebut sangatlah dibutuhkan oleh tenaga pendidik di seluruh Nusantara.

Tidak bisa kita pungkiri Pada umumnya banyak guru AUD yang masih terbatas pengetahuannya tentang metode bercerita, teknik bercerita dan tips-tips efektif dalam bercerita. padahal pendidikan anak usia dini sangatlah identik dengan cerita/mendongeng, anak usia dini sangatlah menggemari cerita atau dongeng, bagi pendidikan anak usia dini cerita/dongeng sangatlah efektif untuk mengajar dan memberikan pesan karakter. Mengapa demikian, dengan metode cerita maka yang pertama pesan akan lebih berkesan daripada nasehat murni, sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori manusia. Seperti contoh cerita-cerita yang kita dengar dimasa kecil masih bisa kita ingat secara utuh sampai kita dewasa. Kedua, melalui cerita manusia diajar untuk mengambil hikmah tanpa merasa digurui.

Pengertian Cerita, 
Dongeng dan Metode Bercerita

Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi).

Kata Dongeng berarti cerita rekaan/tidak nyata/fiksi, seperti: fabel (binatang dan benda mati), sage (cerita petualangan), hikayat (cerita rakyat), legenda (asal usul), mythe (dewa-dewi, peri, roh halus), ephos (cerita besar; Mahabharata, Ramayana, saur sepuh, tutr tinular). Jadi kesimpulannya adalah “Dongeng adalah cerita, namun cerita belum tentu dongeng”.

Metode Bercerita berarti penyampaian cerita dengan cara bertutur. Yang membedakan antara bercerita dengan metode penyampaian cerita lain adalah lebih menonjol aspek teknis penceritaan lainnya. Sebagaimana phantomin yang lebih menonjolkan gerak dan mimik, operet yang lebih menonjolkan musik dan nyanyian, puisi dan deklamasi yang lebih menonjolkan syair, sandiwara yang lebih menonjol pada permainan peran oleh para pelakunya, atau monolog (teater tunggal) yang mengoptimalkan semuanya. Jadi tegasnya metode bercerita lebih menonjolkan penuturan lisan materi cerita dibandingkan aspek teknis yang lainnya.

Manfaat Cerita



Menurut para ahli pendidikan bercerita kepada anak-anak memiliki beberapa fungsi yang amat penting, yaitu: 

1. Membangun kedekatan emosional antara pendidik dengan anak
2. Media penyampai pesan/nilai moral dan agama yang efektif
3. Pendidikan imajinasi/fantasi
4. Menyalurkan dan mengembangkan emosi
5. Membantu proses peniruan perbuatan baik tokoh dalam cerita
6. Memberikan dan memperkaya pengalaman batin
7. Sarana Hiburan dan penarik perhatian
8. Menggugah minat baca
9. Sarana membangun watak mulia

BERCERITA UNTUK ANAK USIA DINI



Sebelum bercerita, Guru AUD harus memahami terlebih dahulu tentang cerita apa yang hendak disampaikannya, tentu saja disesuaikan dengan karakteristik anak-anak usia dini. Agar dapat bercerita dengan tepat, guru AUD harus mempertimbangkan materi ceritanya. dan pemilihan cerita antara lain ditentukan oleh :

1. Pemilihan Tema dan judul berdasarkan usia anak.

Charles Buhler Seorang pakar psikologi pendidikan mengatakan bahwa anak hidup dalam alam khayal. Anak-anak menyukai hal-hal yang fantastis, aneh, yang membuat imajinasinya “menari-nari”. anak usia 4 tahun sangatlah menyukai donngeng seperti fabel dan horor, seperti: Si wortel, Tomat yang Hebat, Anak ayam yang Manja, kambing Gunung dan Kambing Gibas, anak nakal tersesat di hutan rimba, cerita nenek sihir, orang jahat, raksasa yang menyeramkan dan sebagainya. sedangkan pada usia 4-8 tahun, anak-anak menyukai dongeng jenaka, tokoh pahlawan/hero dan kisah tentang kecerdikan, seperti; Perjalanan ke planet Biru, Robot pintar, Anak yang rakus dan sebagainya. Pada usia 8-12 tahun, anak-anak menyukai dongeng petualangan fantastis rasional (sage), seperti: Persahabatan si Pintar dan si Pikun, Karni Juara menyanyi dan sebagainya
2. Waktu Penyajian Dengan mempertimbangkan daya pikir, kemampuan bahasa, rentang konsentrasi dan daya tangkap anak, maka para ahli dongeng menyimpulkan sebagai berikut;

a. Sampai usia 4 tahun, waktu cerita hingga 7 menit
b. Usia 4-8 tahun, waktu cerita hingga 10 -15 menit
c. Usia 8-12 tahun, waktu cerita hingga 25 menit Namun tidak menutup kemungkinan waktu bercerita menjadi lebih panjang, apabila tingkat konsentrasi dan daya tangkap anak dirangsang oleh penampilan pencerita yang sangat baik, atraktif, komunikatif dan humoris.

3. Suasana (situasi dan kondisi) Suasana disesuaikan dengan acara/peristiwa yang sedang atau akan berlangsung, seperti acara kegiatan keagamaan, hari besar nasional, ulang tahun, pisah sambut anak didik, peluncuran produk, pengenalan profesi, program sosial dan lain-lain, akan berbeda jenis dan materi ceritanya. Pendidik dituntut untuk memperkaya diri dengan materi cerita yang disesuaikan dengan suasana. Jadi selaras materi cerita dengan acara yang diselenggarakan, bukan satu atau beberapa cerita untuk segala suasana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BOLEH MENGHUKUM ANAK, SELANJUTNYA?....

M enghukum ‘harus’ dilakukan selanjutnya cukup mengancam, tidak perlu dan tidak harus selalu menghukum. Jadi misal anak nakal, dulu kita puk...