Kalau ada pertanya anak Bolehkah kita menghukum anak kita sendiri, atau anak didik kita di sekolah? Saya menjawab boleh dan silahkan.
Boleh menghukum tapi tau waktunya kapan dan berapa lama, mari kita bahas tentang menghukum dan apa yang harus kita perhatikan.
SATUAN WAKTU
Satu
konsep tentang hukuman adalah adanya satuan waktu. Kalau kita menghajar setiap waktu itu bukan
mendidik, bukan mendisiplin anak, tetapi ngamuk dan amarah, itu hoby atau
kebiasaan, bahkan perilaku yang keluar dari hati yang jahat. Jika orang tua menghajar setiap waktu, anak
tidak akan hormat tetapi takut, kita
perlu membuat anak hormat dengan orang tua dan bukan takut dengan orang tua.
Kapan
kita mendisiplin anak ? Saat anak berbuat yang melanggar aturan, etika, norma
atau hukum yang kita buat. Seberapa lama
kita mendisiplin anak ? Sesuai fungsi
hukuman adalah untuk menyadarkan kesalahan, jika anak sudah merasa salah maka
kita harus berhenti menghukumnya. Jangan
anak sudah merasa dan menyadari kesalahannya, kita masih ngomel, marah,
berteriak-teriak, karena kita merasa belum selesai berbicara, belum puas. “Lihat
mama, mama belum selesai biacara! ...bla bla bla.....” Dan kita berbicara terus ‘nyerocos’
sampai puas. Ini tidak mendidik, ini amarah.
Misal
kita menghukum dengan ‘memarahi’ selama 5 menit, anak sudah menyadari
kesalahannya, dan kita tetap meneruskan ‘didikan’ kita, sampai 15 menit, ini
justru merusak fungsi didikan di 5 menit pertama tadi. Karena anak bisa saja mendengar yang kita
ucapkan, tetapi dalam hatinya mereka berkata;
“Mama bawel, mama bawel… .!”
“Emangnya gue pikirin!”
“Banyak omong lu ... emangnya gue
dengerin... ”
Anak
tidak jadi menyadari kesalahannya, tetapi justru membenci atau kepahitan,
merasa diperlakukan tidak adil atau diperlakukan seperti ‘anak kecil’.
Janganlah
marah berubah menjadi amarah (atau marah-marah), menjadi dendam, menjadi menyerang
pribadinya dan bukan kesalahannya.
Biarlah marah adalah bagian mendidik, yang dilakukan secara sadar dan
terkendali, ada satuan waktu dan ukurannya.
Orang
bijak berkata: “Boleh marah, tetapi jangan sampai matahari terbenam dan
masih ada amarahmu” Orang Jawa di
kampung saya sering berkata; “Kalau sudah Mahgrip jangan marah-marah nanti
ada setan lewat”
Saya menasehati, supaya marah tidak berubah
menjadi dosa, marah ada waktunya, tidak boleh terus terbawa hingga esok hari,
artinya menjadi kebencian atau dendam.
Jangan sampai menjadi ‘persepsi’ kita akan anak
tersebut. Anak bisa berbuat kesalahan,
tetapi tidak berarti itu kepribadian anak, karena kepribadian sendiri bisa
dibentuk dengan cara mendidik yang benar.
Jika membangun persepsi yang salah tentang si-anak dan setiap kali
marah, selalu mengungkit ungkit kesalahan sebelumnya untuk memperkuat argumen
kita, bahwa anak ‘memang begitu’, maka ini berbahaya, karena anak akan menjadi
‘begitu’ karena dipersepsikan ‘begitu’.
Marah
jangan melewati matahari terbenam, artinya marah yang ‘mendidik’, marah yang
‘profesional’ adalah marah dengan tujuan kebaikan dan selesai pada hari itu
juga.
Jika
saudara memulai ‘mendisiplin’ sejak anak kecil, sebenarnya setelah pola
terbentuk, kita hampir-hampir tidak perlu dan tidak pernah lagi melakukannya,
karena hukuman sebenarnya hanya ‘instrumen awal’. Yang susah adalah jika anak sudah
terlanjur berusia diatas 8 tahun,
menjadi nakal dan dibiarkan tanpa pernah ‘di-disiplin’ atau dihukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar